Deskripsi
Keistimewaan Keris Bethok Jalak Meteorit Era Kerajaan Jenggala
Tentang Keris Bethok Jalak Meteorit | Kategori Keris Tertua
Keris tertua Berdhapur Bethok Jalak ini memiliki Pamor Bendho Segodo. Pamor Bendho Segodo, Jika di artikan kedalam Bahasa Indonesia adalah Bendha sebesar Gada. Bendha disini bukan berasal dari bahasa Jawa yang berarti Barang, melainkan nama sebuah tanaman atau pohon. Bendha dalam Bahasa Sunda, di kenal sebagai tanaman yang di sebut Cariu (Semacam tumbuhan merambat yang bentuknya mirip seperti petai namun jauh lebih besar, isinya di pergunakan untuk memasak, kurang lebih sebesar telur mata sapi). Sedangkan Segada adalah sebesar Gada, Orang Jawa bisa menyebut benda yang di anggapnya lebih besar dari ukuran rata – rata dengan ukuran Segadha.
Pamor Bendha Segada tergolong pamor yang banyak penggemarnya. Bentuk gambaran pamor ini menyerupai bulatan bulatan pamor yang terangkai mengelompok rapat, tersusun dari bawah ke atas sepanjang bilah. Ditinjau dari terjadinya pamor,bendo sagodo tergolong pamor rekan, yakni pamor yang bentuk gambaranya telah dirancang terlebih dahulu oleh sang Empu.
Menurut sebagian pecintanya, keris dan tombak dengan pamor bendo sagodo ini mempunyai tuah yang dapat membuat pemiliknya lebih gampang mencari rejeki besar dan mengumpulkan hasil yang banyak. Oleh karena itu, pamor ini banyak dicari oleh mereka yang hidup sebagai pedagang. Pamor ini tergolong tidak pemilih, dapat cocok dipakai oleh siapapun. Mas Ashraff Sigid memaharkan Keris ini karena banyak dari teman – teman beliau yang memintanya.
Tentang Dhapur Bethok Jalak
Dhapur Keris Bethok – Kategori Keris Tertua Untuk Pusaka Tindih
KERIS KABUDHAN = KERIS TINDIH, Isoteri dalam dunia tosan aji merupakan ranah yang susah diukur dan bisa jadi menjadi hal subyektif karena menyangkut pengalaman spiritual pribadi. Keris Kabudhan hingga kini diburu para kolektor tosan aji. Alasannya, keris model ini adalah pusaka “wajib” yang mesti terpajang di gedong pusaka. Keris Kabudhan difungsikan sebagai keris tindih alias keris pengasuh dipercaya sebagai penetralisir aura negatif. Ada kepercayaan dalam penggemar tosan aji khususnya dalam strata perkerisan, tertulis maupun tidak, sebenarnya mengacu pada sistem patronize dalam budaya Jawa. Orang yang paling dihormati adalah yang paling tua. Meskipun tidak berlaku secara kaku, dalam tatanan sosial masyrakat Jawa, namun diutamakan yang tua didahulukan. Jadi adalah hal yang lumrah bila kemudian di dalam dunia perkerisan, keris kabudhan diletakkan sebagai sesepuh (dianggap paling tua)dan diyakini bisa meredam aura-aura negatif dari keris-keris yang lebih muda.
Karakteristik Keris Bethok – Kategori Keris Tertua Untk Pusaka Tindih
Dari sudut pandang ilmiah memang masih bisa masuk akal, karena keris-keris tangguh kabudhan apabila kita cermati lebih lanjut memiliki karakteristik besi yang berbeda dengan besi keris tangguh lainnya. Besi malela (pasir besi) seolah dicampur jadi satu tampak liat seperti jenang. Kemudian apabila dilakukan perendaman, jika semisal menggunakan air kalapa bersih besinya akan cepat menyerap menjadi bersih, kemudian sebaliknya apabila air rendaman sudah kotor, besipun akan menyerap warna yang sama dengan air menjadi kotor.
Ya besi keris budha seolah bisa menyerap dengan cepat apapun yan ada disekitarnya. Bagi mereka yang waskita keris tindih yang boleh dikatakan tidak utuh, jelek, berpatina bagaimana bisa menindih keris lainnya yang secara fisik lebih wutuh, cantik dan indah besi maupun pamornya? Tidak lain dan tidak bukan sebenarnya adalah kita menindih ego kita sendiri yang merasa bangga dan menjadi sedikit sombong dengan keris agemannya, seolah kerisku lah yang paling dan ter- diantara yang lain.
Filosofi Keris Berdapur Jalak
Dhapur Jalak, merupakan salah satu dhapur keris lurus yang ukuran bilahnya lebar, panjang sedang. Bagian sor-soran keris dhapur ini biasanya agak tebal, gandik-nya polos, pejetan-nya dangkal, memakai sogokan rangkap. Dibandingkan keris dhapur lain sogokan keris dhapur Jalak tergolong sempit. Dua pusaka keraton Kesultanan Yogyakarta yang berdhapur Jalak adalah Kanjeng Kiyai Gutuk Api dan Kanjeng Kiai Sura Lasem.
Di kalangan penggemar tosan aji kadang terdapat sedikit perbedaan dalam penyebutan dhapur Jalak Sangu Tumpeng dan Jalak. Bagi beberapa penggemar tosan aji khususnya dari Jogja ricikan Jalak Sangu Tumpeng “wajib” hukumnya memiliki tingil, sedangkan beberapa penggemar lain mempercayai keris dengan dua sogokan sudah bisa disebut Jalak Sangu Tumpeng, karena bagian tingil kadang rawan terhadap korosi, selain itu menurut mereka dhapur Jalak biasanya bagian sor-soran wajib hukumnya lebih tebal dan wilah lebih pendek dibandingkan keris dhapur lainnya. Perbedaan yang ada menambah keanekaragaman budaya keris.
Pesan Perlindungan Bagi Rakyat
Burung Jalak yang kerap bertengger di atas punggung kerbau telah memberi inspirasi pertama kali kepada para empu untuk menciptakan keris dhapur Jalak. Konon penciptaan dhapur Jalak, diawali dengan titah Prabu Sri Samarotungga dari kerajaan Mataram Budha di Jawa bagian tengah, yang mendapatkan wangsit melalui hasil perenungannya. Disebutkan sejak muda, sang Raja gemar berkelana mengelilingi seluruh penjuru pelosok negeri. Dalam kontemplasi tentang segala hal yang dilihat sang Raja sehari-hari, Baginda menyimpulkan, agar rakyat di kerajaannya bisa hidup makmur dan sejahtera, maka harus memuliakan burung Jalak – yang saat itu memang dianggap sebagai burung yang dekat dan banyak membantu kaum petani.
Baginda kemudian meminta para empu keraton untuk menciptakan keris dengan mengambil bentuk maknawi burung Jalak. Melalui proses pengendapan batin yang dalam, maka terciptalah sebuah keris dhapur Jalak – yang nantinya disebut Jalak Budha. Seperti apa bentuk maknawi burung Jalak dalam keris? Ini jelas terlihat dari ricikan yang tertera pada bilahnya, yang bersama-sama menggambarkan profil kepala burung Jalak. Pejetan menggambarkan bagian dahi, sogokan bagian depan melukiskan paruh atas, sedangkan sogokan bagian belakang membentuk paruh bawah dan leher burung jalak.
Perpaduan Dhapur Jalak
Belakangan, muncul berbagai varian dhapur keris dengan nama yang berbau Jalak Pula, seperti Jalak Ngore, Jalak Nyucup Madu, Jalak Sangu Tumpeng dan lain sebagainya. Kesemua dhapur tersebut walaupun memliki ricikan-ricikan baru seluruhnya tetap terinspirasi bentuk kepala burung jalak – sebagai simbol dari fungsi tugas bangsawan dan priyayi jawa.
Hubungan yang saling menguntungkan, Belajar dari Kerbau dan Burung Jalak, ‘Kerbau dan burung jalak’ bisa kita sebut ayat kauniah tentang bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi dengan di luar kita. Entah itu saudara, teman, tetangga atau bahkan anonymous sekalipun. Dalam berhubungan seharusnya terjadi simbiosis mutualisme atau bahasa kita take and give. Hubungan dilandaskan atas kesukarelaan dan keikhlasan akan menghantarkan pada sebuah kepastian.
Karena pondasi yang dibangun bukan material, tetapi immaterial: sukarela dan ikhlas. Pondasi material, pada suatu waktu akan habis dengan sendirinya dan pada saat itulah hubungan merenggang kemudian berakhir. Kerbau, dengan sukarela dan tanpa beban, “mempersilahkan” burung jalak menungganginya. Demikian pula burung jalak, dengan tanpa paksaan, makan santai di atas kerbau. Hubungan seperti ini bisa disebut hubungan sukarela penuh ikhlas. Take and give berada dalam proposional. Memberi tanpa meremehkan yang meminta dan meminta tanpa memaksa kehendak memberi. Dengan bahasa kita, beramal tanpa pamrih. Demikian seharusnya kita berhubungan.
Lebih dari sekedar bentuk ricikan, ternyata ada makna yang dititipkan lewat burung yang dekat dengan para petani itu. Dari ajaran para leluhur tercermin, betapa kebersamaan (Jalak dan Kerbau – Raja atau pemimpin dan Rakyat) adalah suatu anugerah yang mesti dipertahankan. Suatu anugerah yang pada zaman seperti ini, adalah sesuatu yang langka. Kebersamaan pada masa kini, selalu dipenuhi dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomi – yang jelas-jelas akan mencemari persahabatan. Bagaimanapun juga mereka yang suka membantu orang lain akan dilapangkan rezekinya oleh Tuhan YME.
Tentang Era Kerajaan Jenggala
Sidoarjo Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Jenggala
Andai Dewi Kilisuci bersedia menjadi ratu di Kahuripan, barangkali sejarah tidak mengenal kerajaan Jenggala. Tetapi karena sang dewi lebih tertarik pada kesunyian gua Selomangleng (Kediri) daripada pesta pora hedonistik istana, maka Ayahnya, Airlangga merasa perlu membagi kerajaan menjadi dua.
Pembelahan kerajaan Kahuripan bukan saja merubah wajah Jawa secara geografis, tapi juga geopolitik dan ekonomi. Pusat pemerintahan yang sebelumnya ada di satu tempat kini menjadi dua. Hanya sayangnya pusat ekonomi tetap menjadi hak sebuah daerah belahan dari Kahuripan. Masing-masing dua daerah belahan Kahuripan ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Jenggala, belahan sebelah utara ini kuat dalam ekonomi karena bandar dagang di Sungai Porong termasuk dalam wilayahnya. Sedangkan Dhaha (Kediri) yang bercorak agraris ini lebih kuat dalam bidang Yudhagama, olah keperajuritan, militer, bahkan mempunyai pasukan gajah.
Pembelahan kerajaan ini memang pada ujungnya juga menyisakan sebuah sengketa antar dua pewaris. Dimana di salah satu belahan mengalami tingkat perekonomian yang tinggi, sementara di belahan lain tingkat ekonominya sangat minus. Kedua perbedaan inilah yang menimbulkan sebuah perang yang akan meluluh lantakkan sebuah kerajaan dari muka bumi. Dan kerajaan itu adalah Jenggala.
Note :
- Untuk Pemaharan Deskripsi dan Gambar yang lebih detail tentang Kategori Keris Tertua | Keris Bethok Jalak Meteorit | Era Kerajaan Jenggala. Silahkan Menghubungi kami di nomor : 0811 – 2888 – 540 (WA/SMS/TLP)
- Baca Tata Cara Pemaharan Disni!!
- Disclaimer, Jaminan Dan Garansi, Disini!!
*Selain Keris Bertuah Keris ini sangat Indah sebagai pusaka koleksi.