Wedung Demak Patek Kuningan Sari -Warisan Bernilai Tinggi

Rp2,750,000.00

Dhapur Keris (jenis bentuk keris) : Wedung
Pamor (motif lipatan besi) : Pamor Keleng
Tangguh (perkiraan masa pembuatan) : Tangguh Demak
Panjang Bilah : Tanya CS
Pesi : Masih utuh panjang original tidak sambungan
Handle / Gagang :

Tuah : Berfungsi sebagai Tindih (Penetralisir energi negatif, dari koleksi keris Anda), Lambang kehormatan yang tinggi, Kewibawaan Dan Meningkatkan Percaya diri.

*Note : Pusaka Warisan Pengukuhan Status, menjadi Warisan yang bernilai tinggi pada Era Wali.

Deskripsi

Sejarah Pusaka Wedung Demak

Wedung Demak adalah salah satu jenis tosan aji yang menjadi koleksi www.kolektorkeris.com. Yang berasal dari tanah jawa. Senjata pusaka khas era demak ini, memang hanya sedikit yang mengulas. Ketika Majapahit mulai rapuh (1480 M), Demak Bintoro mulai memiliki pengaruh di wilayah pesisir utara Jawa seperti Jepara, Kudus, Juwana, Pati dan lain lainnya.

Demak merubah tatanan kerajaan Hindu-Budha menjadi bernafas Islam. Wali sembilan (Wali Songo) dalam upaya meng’islam’kan Jawa menggunakan cara dengan bersikap toleransi terhadap budaya masyarakat lingkungannya. Muncul nama Sunan Kalijaga sebagai wali yang pandai menggubah kesenian daerah dan menciptakan hiburan rakyat dan permainan anak-anak dalam rangka siar Islam. Majapahit runtuh disebabkan karena disibukkan oleh pertikaian / perebutan kepemimpinan, bencana alam, kelaparan dan wabah penyakit (pageblug).

Budaya Keris dalam periode Demak

wedung demakBudaya keris yang telah mengakar sejak jaman kerajaan-kerajaan sebelumnya sebagai senjata psikhis (keyakinan diri) masih terus berlanjut di dalam masyarakat, namun menurun kuantitas nya.

Para wali (Sunan Kalijaga) melakukan akulturasi sebagai langkah penyesuaian.
Keris tetap dipakai sebagai atribut busana, bahkan para wali menyandang keris yang diselipkan di jubahnya (Disengkelit: Bahasa Jawa). Warangka rancangan para wali hingga sekarang dikenal dengan istilah “Sandang Walikat”(Sesuai Pakaian Wali).

Kerajaan Demak menghapus hegemoni sebelumnya, sehingga keris tidak diangkat sebagai isu penting.
Bahkan keris pada masa ini keluar dari budaya sentralistik kekuasaan, keris hanya disandang oleh para wali dan golongan masyarakat pecinta budaya. Para wali memegang kendali adat dan budaya.  Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang disebut-sebut sebagai pelestari budaya.

Keris pada jaman Demak menjadi tanda waris (warisan).Para kolega wali atau kepercayaannya diberi keris sebagai cindera mata tanda mandat, pembawa pesan, sebagai utusan di pengukuhan status. Keris yang ada (ciptaan jaman sebelumnya) pada jaman Demak bergeser fungsinya sebagai pusaka (warisan yang dianggap bernilai tinggi). Keris dianggap sebagai pusaka yang memiliki aspek religius yang harus disimpan oleh orang-orang yang sholeh ( Lurus tauhidnya dan matang spiritualnya ).

Dimanakah para Empu Keris pada masa itu ??

Pembuatan keris jaman Demak diperkirakan, mungkin tetap berlangsung namun dalam skala kecil sekali dan tidak diprakarsai oleh raja. Ciri-ciri bentuknya diperkirakan tidak berubah jauh dari bentuk karya jaman sebelumnya yaitu gaya keris buatan jaman Majapahit.

Para empu yang hidup pada jaman Majapahit, tidak diketahui rimbanya. Hanya ditemukan catatan bahwa Sunan Kalijaga telah mendidik seorang empu keris (pandai besi) bernama Jaka Sura menjadi ulama yang terkenal cerdas, dan diberi gelar empu Supo Warihanom.

Senjata Pusaka Wedung Era Kerajaan Demak

Karena pada masa akhir kerajaan Majapahit, dan mulai berdirinya kekuasaan Demak, kekacauan dan ketegangan menghantui rakyat sipil, maka banyak rakyat biasa yang melengkapi diri dengan sebuah senjata khas waktu itu yang disebut wadhung atau wedung.

Sebab senjata ini lebih fungsional.

Wedung adalah senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata `wedung’ menurut kamus bahasa Jawa, artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung. Senjata ini begitu populer kala itu, sehingga menjadi ikon publik Kesultanan Demak.

Wedung akhirnya juga dipakai sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana. Sampai sekarang di keraton solo dan jogja, pusaka wedung masih digunakan. Di sebelah barat sentral kerajaan Demak, hingga sekarang bisa dijumpai desa Wedung, merupakan tempat dimana para empu keris menggarap wedung.

Wedung dibuat dengan gusen indah dan ricikan.

wedung demakKebutuhan seni, merubah wedung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (situasi kacau pada saat itu) mulai bergeser menjadi benda seni, di “agung” kan seperti pada budaya keris.

Wedung mulai digarap empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor. Motif pamor yang sering ditemukan adalah motif pamor beras utah dan wiji timun. Sebelumnya, motif wiji timun dikenal dengan nama `ombak segoro’ karena coraknya seperti penggambaran riak gelombang air laut yang susul – menyusul di pantai.

Wedung berpamor wiji timun hanya boleh dimiliki oleh petinggi-petinggi di pantai utara Jawa pada waktu itu. Indikasi bahwa wedung berkembang di pesisir pantai utara Jawa adalah asesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan `penyu’. Pada jaman berikutnya bahan dari penyu diganti dengan tanduk kerbau.

Masyarakat sepanjang pantai utara Cirebon – Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Girindrawardhana (Majapahit).
Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedung (bukan keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.

Asal Nama Desa Wedung

Pada akhir abad ke-15 Masehi, di zaman pembangunan Masjid Agung Demak, Para Sunan yang tergabung dalam musyawarah besar Walisongo memutuskan untuk mencari kayu jati glondongan sebagai tiang utama masjid yang akan dijadikan pusat kerajaan Islam Pertama ini. Kayu yang dicari berasal dari hutan Muria. Sehingga mereka harus membawa kayu tersebut melalui akses jalur laut dengan membawa getek menyusuri pinggiran pantai menuju Bintaro Demak.

wedung demakDalam perjalanan, karena ada ombak besar, getek pambawa kayu jati tersebut terdampar di Kepulauan Gajah-Oyo, yang sekarang disebut Gejoyo. Setelah diteliti, ternyata hanya tersisa 3 dari 4 gelondong tiang jati (soko). Saat para pekerja ingin memperbaiki Getek, “wadungnya” tidak ada dan diperkirakan jatuh tercebur di perairan Kepulauan Gajah-Oyo. Kemudian mereka berinisiatif membuat jaring untuk “ngrikit” (tali-temali yang berbentuk jaring seret yang ditarik bersama menelusuri (ngrikiti) gugusan-gugusan tepi pulau guna menjaring satu gelondong kayu jati dan wadung yang hilang.

Namun, apa yang dicari tak kunjung ditemukan meski sudah “digribig” (dijaring secara merata). Akhirnya, gethek berhenti di desa ujung-timur bagian selatan yang kemudian dinamakan Desa Gribigan.
Kepulauan sepanjang pantai yang ditelusuri untuk mencari glondongan kayu dan wadung ini, kemudian dikenal dengan nama Kepulauan Wadung. Seiring perkembangan masyarakat dan masing-masing pulau menjadi pedesaan, Kepulauan Wadung menjadi Pedesaan Wedung, dan akhirnya menjadi Desa dan Kecamatan Wedung.

Kemudian getek pembawa kayu jati untuk tiang Masjid Agung Demak tersebut melanjutkan perjalanannya dengan hanya membawa 3 tiang. Saat pembangunan dimulai, dengan terpaksa Sunan Kalijogo menyusun satu soko dari beberapa potongan kayu yang dirakit dengan tali yang disebut ”Soko Tatal”.

Loading